WELCOME TO "JASMERAH BLOG"

Sabtu, 03 Oktober 2009

Revitalisasi Be - K - Be

Membebaskan Benteng Kuto Besak
Sunday, 04 January 2009

Eksistensi dan keberadaan bangunan bersejarah Benteng Kuto Besak (BKB) yang dibangun sejak abad XVIII oleh Sultan Mahmud Badaruddin, kini mulai diungkit kembali keberadaannya. Ada wacana Benteng Kuto Besak harus ‘direbut’ dan dibebaskan dari para penghuni yang masih bercokol di dalamnya.
Wacana membebaskan Benteng Kuto Besak ini mencuat sejak dialog seniman, budayawan dan politikus di rumah makan (RM) Pagi Sore Simpang Charitas, Kamis (13/11). Dialog budaya yang dihadiri para seniman gaek dan diprakarsai anggota DPR RI Mustafa Kamal dari partai PKS ini, kemudian berlanjut Sabtu (26/12) di Side Restaurant depan BKB. Pada pertemuan kedua ini, pembahasan mulai mengerucut mengenai aset perjuangan Benteng Kuto Besak sebagai bagian cagar budaya yang harus dilestarikan dan dijaga keberadaannya.

‘Berjuang merebut Benteng’ tidak cukup hanya dengan dialog seniman sambil ngopi bareng, tanpa menghadirkan orang-orang yang ‘terhakimi’ dalam hal ini petinggi TNI dan institusi terkait lainnya. Pembebasan harus dilakukan dengan negosiasi tak hanya pemerintah daerah, Pangdam II Sriwijaya dan Walikota, tetapi juga harus negosiasi dengan pemerintah pusat. Mengapa? TNI mendiami Benteng itu sejak kemerdekaan, tepatnya sejak Benteng diserahkan Belanda kepada TNI pada 1945. Kini di dalam areal Benteng Kuto Besak terdapat rumah penduduk, yang merupakan keluarga mantan TNI, rumah sakit TNI (AK Gani), gedung Akademi Perawat Kesehatan Dam II Sriwijaya, serta beberapa tempat-tempat bisnis lainnya.
Untuk merelokasi penghuni Benteng tersebut tentu tidak sederhana. Perlu proyeksi dana yang tidak sedikit. Pemerintah harus merelokasi rumah sakit, gedung Akper serta sejumlah tempat tinggal lainnya. Apakah pemerintah daerah sudah siap dengan konsekwensi itu? Sudah menyiapkan lahan untuk membangun RS AK Gani, Gedung Akper dan rumah penduduk? Kalau pemerintah belum siap, ini artinya pembebasan Benteng Kuto Besak hanyalah sebuah wacana belaka.
Menurut sejarahwan Palembang, Kemas Ari, TNI tidak salah menempati Benteng Kuto Besak itu bertahun-tahun lamanya. Dalam hukum perang Internasional, siapa yang menang dalam peperangan, dialah yang menguasai asetasetnya. Tak terkecuali Benteng Kuto Besak yang berada di jantung kota Palembang itu ‘’Saya sudah lelah membicarakan Benteng Kuto Besak itu. Mau diapakan. Yang bisa membebaskan Benteng itu adalah kebijakan pemerintah pusat dan kesadaran semua pihak. Didalam Benteng itu sudah sangat kompleks. Bila Benteng sudah bebas, baru kita melakukan penelitian secara ilmiah mengenai kelayakan bangunan bersejarah itu (BKB—Red) masuk dalam kategori cagar budaya atau tidak, ’’ ujar Kemas Ari.

Terlepas dari permasalahan BKB, kini kebanggaan wong Palembang hanya tinggal Masjid Agung, sedangkan beberapa tempat sejarah seperti Goa Jepang di KM 5, justru tertimbun tanah bahkan sebagai tempat pembuangan sampah. Ironi memang, Benteng Kuto Besak mati-matian minta dibebaskan, sedangkan Goa Jepang yang bebas itu saja tidak terawat. Nah bagaimana kita mau merawat Benteng yang memiliki ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183.75 meter dan tinggi 9.99 meter (30 kaki) serta tebal 1.99 meter (6 kaki)? Daerah pusat Kesultanan Palembang Darussalam ini, justru berbuah ironi. Simbol-simbol kejayaan Sultan Mahmud Badaruddin, satu per satu ditelan kemajuan jaman. Undang-undang No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, juga tak mampu melindungi simbol-simbol kejayaan Tokoh Pejuang Sultan Palembang tersebut. Namun, nasib Benteng Kuto Besak, yang lokasinya berdekatan dengan Masjid Agung dan kantor Walikota, tepatnya di pinggiran sungai Musi, tak ubahnya seperti Benteng terlarang seperti Forbidden City di Cina. Tapi Forbidden City tak lagi menjadi kota terlarang. Tempat para raja yang mendiami areal puluhan hektar itu sudah dibuka untuk umum.
Pengunjungnya tak hanya masyarakat setempat, melainkan para turis mancanegara. Nah bagaimana dengan Benteng Kuto Besak ini? Areal bangunan bersejarah itu tetap menjadi wilayah terlarang untuk dimasuki masyarakat umum karena di dalamnya merupakan markas tentara.
Upaya revitalisasi Benteng Kuto Besak ini, tampaknya tak beda dengan revitalisasi bangunan bersejarah lainnya di kotakota besar di Indonesia. Bangunan bersejarah di pusat kota seringkali menjadi permasalahan apabila kawasan revitalisasi tersebut memiliki bangunan cagar budaya. Pada umumnya, rencana revitalisasi kawasan pusat kota justru mengancam keberadaan bangunan cagar budaya karena seringkali bangunan bersejarah tersebut dibongkar untuk diganti bangunan modern yang dianggap lebih menguntungkan. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat adanya dua kepentingan yang tidak selalu sejalan, yang bertujuan untuk menghindari perubahan dan menjaga karakter lingkungan tersebut, dan adaptasi bangunan / kawasan yang bertujuan untuk mengakomodasi konsekuensi dari perubahan ekonomi. Selain kedua hal tadi, isu ini pun diperparah dengan kurangnya perangkat pengendalian yang memadai dalam hal perlindungan cagar budaya. Bila ditarik kebelakang nilai history Benteng Kuto Besak, memang memiliki kepentingan umum, yaitu pengaturan benda cagar budaya yang dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata, dan lain-lain.
Benteng ini dibangun selama 17 tahun dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakainnya pada hari Senin tanggal 21 Februari 1797. Kuto Besak adalah bangunan keraton yang pada abad XVIII menjadi pusat Kesultanan Palembang. Sedangkan gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak di prakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah pada tahun 1776-1803.
Sultan Mahmud Bahauddin ini adalah seorang tokoh Kesultanan Palembang Darussalam yang realistis dan praktis dalam perdagangan Internasional serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. Menandai perannya sebagai Sultan ia pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai keraton baru.
Jika dilihat dari lokasinya yang berada di jantung kota, pembangunan dan penataan kawasan ini akan menjadi tempat hiburan menyenangkan yang menjual pesona Musi dan bangunan- bangunan bersejarah. Dari atas Jembatan Ampera, pemandangan yang tampak adalah bangunan luas nan kokoh, latar belakang menara air peninggalan Belanda (sekarang Kantor Wali Kota Palembang). Salah satu strategi pengembangan terbaik dalam merevitalisasi kawasan kota bersejarah adalah dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat wisata dengan bangunan bersejarah sebagai objek wisata utamanya. Tapi siapkan
pemerintah kota menyiapkan anggaran relokasi sebagai konsekwensi menjadikan kota bersejarah? (tj)
HARIAN PAGI SUMATERA EKSPRES PALEMBANG
http://www.sumeks.co.id Powered by: Joomla! Generated: 3 October, 2009, 14:36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar